Selasa, 30 April 2013

Musik Dambus Etnik Melayu Khas Bangka Belitung

Musik etnik daerah sudah sepantasnya diangkat ke permukaan, mengingat selama ini potensi besar yang dimiliki daerah bidang seni dan kebudayaan belum optimal dikembangkan.

Menguatnya perkembangan industri pariwisata membutuhkan unsur-unsur penunjang yang cukup. Pariwisata bukan hanya pantai, hotel, candi, dan lain-lainnya tanpa di sertai keberadaan seni dan budaya yang menarik. Seperti Bali yang sangat populer di seluruh mata wisatawan mancanegara karena kaya akan tempat wisata, seni dan kebudayaan yang unik dan khas.

Demikian pula dengan musik etnik melayu, khususnya dambus. Di Bangka Belitung dalam beberapa tahun terakhir gencar dikembangkan berbagai kegiatan kesenian musik dambus dalam berbagai event. Bahkan sekarang ini sudah banyak terbentuk sanggar seni dambus di berbagai daerah di Bangka.

Keberadaan musik dambus yang dulunya hanya terpelihara oleh masyarakat yang sudah berumur (tua) kini mulai mendapat tempat. Dengan adanya keberadaan sanggar musik membuat seni dambus mampu menarik minat kaum muda untuk mempelajarinya.

Bahkan dalam waktu dekat, salah satu sanggar di Bangka Belitung akan turut berperan serta dalam Festival Lomba Zapin Melayu yang akan diselenggarakan di Negara Malaysia. Acara ini diikuti oleh banyak daerah melayu dan negara seperti Aceh, Kep. Riau, Bangka Belitung, Malaysia, Brunai, Serawak dan lain sebagainya. Berbagai kesenian melayu akan dihadirkan dalam acara tersebut termasuk tarian Dincak Dambus.

Musik dambus dengan irama denting dawainya yang khas menyimpan sejuta rasa yang lain dibandingkan musik lain. Musik dambus dimainkan dengan diiringi lagu dan tarian khas melayu yang di Bangka Belitung disebut dengan nama "DINCAK". Dahulu pada perkembangannya, musik dambus selalu menjadi andalan dalam berbagai kegiatan masyarakat seperti perayaan pesta perkawinan, pesta adat, dan berbagai kegiatan lainnya

Kamis, 25 April 2013

Air Panas Nyelanding Sumber Air Hangat Alami


Pulau Bangka memiliki beberapa sumber air panas. Salah satunya yang ada di Kampung Nyelanding, Bangka Selatan. Air Panas Nyelanding merupakan tempat sumber air panas alami dengan air yang jernih, yang biasa digunakan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, seperti mandi, mencuci, dan lainnya. Di sana terdapat sebuah kubangan atau kolam kecil yang dibuat oleh warga sekitar.

Uniknya, kolam air panas kecil ini tidak pernah kering. Banyak warga yang mengambil air panas ini untuk dibawa ke rumah karena diyakini lebih baik daripada air ledeng. Ratusan warga setiap hari memadati sumur berdiamter 1,5 meter berdampingan dengan kolam sumber air panas.  Empat buah gayung sengaja disediakan di bibir sumur.

Yang mengambil air panas ini tak hanya warga di Nyelanding, tapi dari desa Delas, dan sekitar juga sering menimba air sumur ini untuk minum, tanpa harus direbus dulu. Warga menyakini sumber mata air tersebut, tak sekadar sebagai objek wisata. Sejauh ini keberadaan air panas alam ini membantu kebutuhan air bersih warga saat kemarau tiba.

Sayangnya sumber air panas ini belum dimanfaatkan betul sebagai daerah tujuan wisata di Bangka Selatan. Tak seperti pemandian air panas Tirta Sapta, di Pemali. Memang rencananya Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Bangka Selatan akan memoles sumber air panas itu hingga menjadi seperti lokasi wisata air panas Tirta Tapta di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Apalagi, air panas Nyelanding merupakan satu dari lima fokus destinasi wisata Bangka Selatan yang akan diprioritaskan terlebih dahulu. Rencananya Dinas Pariwisata sudah menyiapkan anggaran Rp 200 juta untuk pengembangan tahap awal sumber air panas Nyelanding. Dana tersebut disiapkan untuk realisasi fisik bangunan. Rencananya  akan membangun tempat bilas dan ruang ganti. Sementara untuk pembangunan yang lebih besar dibutuhkan dana sekitar Rp 25 miliar.

Kita harapkan Air Panas Nyelanding ini bisa dimanfaatkan Pemerintah Kabupaten untuk menjadi salah satu tujuan wisata alam. Selama ini, belum banyak sentuhan untuk menjadikan Air Panas Nyelanding ini sebagai tujuan yang komersial. Apalagi di sekitar sumber air panas masih ditumbuhi alang-alang dan rawa. Hanya terdapat plang papan nama yang menandakan bahwa tempat itu adalah salah satu objek wisata. Jalan masuk ke lokasi sumber air panas itu juga kurang memadai. Sebagian jalannya belum diaspal dan masih berupa tanah kuning.

Selasa, 23 April 2013

Pahlawan 12 Bangka


Nama-nama Kusuma Bangsa/Pahlawan Nasional Bangka :
  1. Ali Samid
  2. Jamher
  3. Saman Samin
  4. Kamsen
  5. A Madjid Gambang
  6. Karto SalehSuardi Marsam
  7. Abdul Samad Tholib
  8. Adam Cholik
  9. Sulaiman Saimin
  10. Salim Adok dan
  11. Apip Adi.


Keduabelas/12 pejuang ini dimakamkan dalam satu lubang di kaki Bukit Ma Andil dan diabadikan dengan nama Pahlawan 12.

Pada tanggal 8 November 1973, atas perintah Bupati Bangka yang ketika itu dijabat oleh M Arub, kerangka para pejuang ini digali dan dipindahkan ke makam Pahlawan Padma Satria Sungailiat. Sebelum dibawa ke Sungailiat, sempat diinapkan satu malam di Kantor Camat Mendobarat. Keesokan harinya, tanggal 9 November 1973 kerangka tersebut diberangkatkan ke Sungailiat dengan pengawalan ketat. Pada tanggal 10 November 1973 dimakamkan kembali dengan upacara militer dalam rangka memperingati Hari Pahlawan ke-28.

Untuk mengenang jasa dan perjuangan 12 orang kusuma bangsa itu, Pemkab Bangka membangun monumen Pahlawan 12. Peletakan batu pertama monumen berlangsung pada tanggal 19 Desember 1980 dan diresmikan pada tanggal 14 Febuari 1981, bertepatan dengan peringatan ke 35 tahun tragedi pertempuran di Kilometer 12 Petaling.

Sayangnya, pembangunan monumen tak diimbangi dengan perhatian terhadap bekas makam Pahlawan 12 yang sangat dihormati oleh warga Mendobarat kendati kerangka para pahlawan sudah digali dan dipindahkan. Bekas makam itu dibiarkan terlantar dan dilingkari batu bata yang telah berlumut serta nisan dari bekas botol syrup. Beginikah cara kita menghargai para pejuang bangsa?


Ritual Buang Jung (Selamatan Laut)

Ritual Buang Jung (Selamatan Laut)


Ritual suci Suku Sawang, suku asli dari pulau Belitung. Upacara diselenggarakan di tepi pantai dengan cara menghayutkan sebuah kapal kecil yang dihiasi daun kelapa dan beberapa macam bahan persembahan di dalamnya. Upacara ini dilakukan di Kabupaten di Bangka Selatan menjelang datangnya musim Barat. Tujuan upacara ini untuk memohon keselamatan bagi mereka akan melaut.

Cerita rakyat

Buluh Perindu

By. Agustiawan

Keindahan Gunung Maras yang terletak didaerah Kab. Bangka Induk ini tepatnya di Desa Rambang kecamatan Riau Silip Kota Belinyu ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi para penggemar Hiking, berkemah dan mendaki gunung. alamnya indah nan mempesona yang banyak ditumbuhi pepohonan yang rimbun dan asri yang juga mempunyai daya tarik tersendiri pula.

Ditambah lagi ada nya mitos tentang "BULUH PERINDU" yang konon katanya buluh perindu ini adalah suara-suara alunan/ nyayian yang dihasilkan antara pergesekan Buluh (Bambu) yang sangat merdu yang menghasilkan suara yang sangat merdu sehingga membuat kita akan terlena dan lupa akan pulang karena mendengar suara-suara tersebut. sehingga bisa dikatakan nyerempet dengan kegiatan mistis-mistis begitu. tapi tidak semua orang ataupun hanya segerintil orang yang bisa mendengar alunan/ suara buluh perindu tersebut.

Tapi menurut Para Pendaki yang telah menjajal gunung maras tersebut banyak dari mereka tidak merasakan hal tersebut. menurut juru kunci gunung tersebut yang nama nya tidak mau disebutkan tapi nenek tersebut menyebutkan kalau umur beliau berumur hampir 1 abad (97 Tahun).

Menurut Beliau "waktu dulu jaman nenek masih gadis buluh perindu itu pernah diajak orang tuanya mendaki gunung maras tersebut untuk mencari kayu bakar, tak jauh dari gunung maras tersebut saya (nenek) banyak mendapatkan bangkai-bangkai burung gagak. terus sang nenek bertanya kepada orangtuanya kenapa banyak terdapat bangkai burung disini. orangtuanya pun menjawab mungkin itu karna burung ini mungkin pada saat terbang mendengar alunan/suara dari buluh perindu itu dan tanpa disadari terlena dan akhirnya mati karna mungkin alunan.suara tersebut bisa membuatnya lupa akan mencari makan dan sebagainya dan akhirnya ia mati.

Yang membuat nenek tersebut tak habis pikir adalah burung gagak saja yang kata orang-orang burung paling tuli saja bisa mendengar sehingga sampai mati karna mendengar alunan/suara tersebut apalagi manusia. entah lah...!!!

banyak pantangan yang harus dilakukan oleh pendaki diantaranya dilarang membuang/melempari batu dari atas gunung maras tersebut karena menurut nenek tersebut batu itu bisa kembali lagi keatas dan tidak menutup kemungkinan batu itu mencederai para pendaki yang melemparinya.

Tapi Hingga saat ini Fenomena Buluh Perindu masih belum bisa dipecahkan misterinya. tapi walaupun demikian gunung maras tersebut tak ayalnya membuat para pendaki untuk menggagahi gunung maras tersebut.

Senin, 22 April 2013

Mandi Belimau, Tradisi Penyucian Diri

Mandi Belimau Tradisi Penyucian Diri




Lelaki itu berjubah coklat muda, bersorban merah dan putih sedang di belakangnya, lima laki-laki berdiri tegak sambil masing-masing memegang tongkat. Kelimanya juga berjubah hijau, merah, kuning, hitam dan kelabu.

Suara laki-laki itu tegas berbicara kata demi kata tentang wasiat Depati Bahrin, tentang hidup dan takdir, baik dan buruk, etika dan amalan pada yang maha Kuasa. Serta hubungan dengan sesama.

Di Akhir Sya’ban, menjemput Ramadhan tiap tahun, Haji Ilyasak berdiri diatas panggung itu dipinggir sungai Limbung, merapalkan doa pertaubatan. Memasukkan Kunyit, Bonglai, Pinang, Mata Mukor, Arang Usang, Bawang Merah, dan Jeruk nipis ke dalam dua buah gentong bertuliskan aksara Arab. Enam unsur itu perlambang pertaubatan.

Tujuh jeruk nipis yang mensyaratkan untuk dapat menguasai ilmu panglima Syaidina Usman dan kesaktian Akek Pok. Tujuh butir Pinang mensyaratkan kesucian Nabi Muhammad SAW, dan juga kesucian Batin seorang pendekar Depati Bahrin. Tujuh iris Bonglai kering mensyaratkan keberanian Syaidina Ali dan kesaktian Akek Jok mengusir jin iblis. Tujuh mata kunyit mensyaratkan untuk rajin bekerja dihiaskan pada sosok Syaidina Umar dan tauladan Akek Sak.

Mata Mukot tujuh jumput dan bawang merah tujuh biji mensyaratkan sosok Akek Daek dengan kepribadian penurut serta mendengar dan menerima nasehat serta Arang Usang mensyaratkan agar sabar dan bersatu dalam jihad Fisabilillah.

Satu persatu pembesar yang hadir, dimandikan oleh Ilyasa' dengan air pertaubatan dimaksud. Prosesnya dilakukan dengan membasahi telapak tangan dari yang kanan, lalu telapak kiri, kemudian kedua kaki kanan dan kiri diteruskan membasahi ubun-ubun dan kepala keseluruhan.

Pada sebuah hari yang mendung, Minggu (16/7) kemarin, Ritual adat Mandi Belimau dilaksanakan tahun ini. Dan seperti tahun sebelumnya, ia mampu menggerakan massa sedemikian besarnya. Ratusan orang memadati pinggir sungai ini. Berharap air dimaksud atau terpana pada mistisme ritual itu. beberpa bisa jadi berniat agar puasa tahun ini diawali dengan sesuatu yang "bersih dan suci".

Ritual adat Mandi Belimau adalah adat yang telah berlangsung selama 300 tahun. Pertama dilakukan oleh Depati Bahrin, seorang panglima sekaligus pahlawan Bangka. Di limbung, sebuah dusun di kecamatan Merawang, dipercaya dulunya didiami oleh depati Bahrin, dan para pejuang lain diantaranya Akek Jok, Akek Pok, Akek Daek.

Sebelumnya, diadakan ziarah ke makam Depati Bahrin yang terletak di Lubuk Bunter, perbatasan Kimak dan Jurung. Selain ziarah, juga diadakan napak tilas perjuangan depati Bahrin oleh sejumlah pelajar di kabupaten Bangka. Keduanya berakhir di pinggiran sungai Limbung itu. Pada hari dimana ritual utama, Mandi Belimau digelar minggu itu. Ritual diakhiri dengan kegiatan Nganggung di masjid Limbung.

Menurut pemimpin ritual sekaligus tokoh adat Bangka Belitung, Haji Ilyasak, manfaat diadakannya Mandi Belimau ini antara lain meningkatkan nilai Silahturahmi, sebab acara ini diikuti oleh keluarga Depati Amir yang berada di Kupang Nusa Tenggara Timur. Dan terpenting adalah melepaskan diri dari pada Azab yang ditetapkan atas Kafir dan Sholeh Itikad.

Masyarakat desa saat itu juga mengadakan sedekah kampong. Masyarakat luar dapat menghadiri acara itu dan bertandang ke penduduk desa Limbung.

Sama seperti Muharram di Kenanga dan Rebo Kassan di Air Anyer, Mandi Belimau ini biasanya bertepatan dengan momen-momen keagamaan atau adat yang merupakan kearifan lokal masyarakat Bangka Belitung.

Penulis : Iksander, S.Sos.
Staff Humas UBB

Dak Kawa Nyusah


Makna Dari "DAK KAWA NYUSAH"

Bangka memang terkenal dengan Filososi “Dak Kawa Nyusah” yang dalam bahasa Indonesia artinya “tidak mau bersusah payah”. Kata-kata ini sangat identik dengan masyarakat Bangka itu sendiri, selain itu juga dak kawa nyusah ada lagi kata-kata lain seperti “Sape Negah” “Dak Pacel Akek ku” “Along Ko…”. Kata-kata itu memiliki artinya yang hamper sama dengan kalimat Dak Kawa Nyusah. Kalimat-kalimat ini menurut masyarakat setempat dalah sikap yang tidak mau ambil pusing atas sesuatu, misalnya masyarakat dibangka diajak berdemo tentang kenaikan harga BBM, selalu terbesit kata “Dak Kawa Nyusah Ko…”mereka lebih baik memilih harga naik dibandingkan untuk berdemo berkoar-koar. Banyak orang mengartikan itu sebagai ungkapan yang menunjukkan ada makna yang terselip didalam kalimat tersebut. Simak pemaparan dibawah ini.

Mengenai bahasa, Bangka sejak kini boleh dibilang belum menentukan bahasa daerah pakem atau Dalam artian resmi sejak dulu dipergunakan bercakap/berbicara. Orang Sungailiat dan Pangkalpinang pun kadang berbeda dalam pengucapan kata. Perbedaan ini meski pada huruf vocal semacam. Untuk kata dipergunakan kata, Pok. Ka, Ke, Ki dimasing-masing daerah belum lagi ungkapan daerah ini baru tatar linguistiknya.

Kata “Dak Kawa Nyusah’ sebenarnya menunjukkan bahwa Bangka adalah orang merdeka. Tidak terikat oleh suatu system kerajaan yang mengikat  bisa dikatakan Bangka itu  “Orang yang tidak Beradat”. Kata tidak beradat ini bukan diartikan kurang ajar atau bernada negative tapi untuk mengartikan bahwa sejak dahulu kala, Bangka tak punya kerajaan tak ada system nilai yang diwariskan turun temurun. Pribadi Bangka adalah pribadi yang merdeka, tidak partisipan, mandiri dank eras.
“Nyo Nek Kate Nyo Lah ”, kata urang Belinyu atau ”Dak sape negah”,  dan yang terkenal itu ”Dak Kawa Nyusah”. Untuk menjelaskan mengapa kita pribadi yg bebas. Daerah Bangka juga tak mengenal Kultur individu, tak ada strata atas atau pun starata bawah. Kita juga tidak mengenal atau tidak terbiasa dengan peran KYAI atau pun Ulama sebagai penarik massa. Sehingga masyarakat Bangka adalah masyarkat yang bebas dan tidak terikat oleh suatu tatanan yang mengikat seperti kerajaan, dengan keberagaman budaya ini budaya Bangka dapat menjadi suatu identitas yang sangat menarik dan unik dan tidak menutup kemungkinan tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain yang ada di Negara kita ini yaitu Negara Indonesia.